“Jlegerr...” suara petir menyambar dari utara. Tepat di balik
Gunung Guntur yang bertengger kokoh mencengkram bumi, kilatan itu bermunculan.
Sepersekian detik kecepatan cahaya, dengan diukur oleh rumus fisika relativitas
Einstein, dan intensitasnya diterjemahkan dalam satuan candela lalu
berkutat rumit dengan konverensi ke satuan joule, Kandela masih saja bergelut
dengan soal-soal yang mengerumuni jemarinya. Sudah payah sang ibunda
memanggil-manggil dari balik jendela agar anaknya segera masuk. Tapi nihil,
Kandela masih tetap saja santai di luar sambil menggantungkan kaki di atas
kursi bambu rumah panggungnya. Matanya yang gemerlap menangkap bayangan kilat.
Saat suara gemuruhnya menyusul cahaya, segera ia katupkan telinga, menahan agar
gelombang besar yang menghantar di udara tidak memperrusak gendang telinganya.
Sebenarnya, tak mengatupkan telinga pun tak menjadi beban bagi
seorang gadis usia enam belas tahun bernama Kandela. Tuhan telah menitipkan agar
gendang telinganya tidak terusik oleh gelombang apapun sejak usianya enam
tahun. Tuhan menganugerahkan agar gendang telinganya beristirahat lebih dahulu
daripada organ tubuhnya yang lain. Dia masih bersyukur karena Tuhan telah
memberinya enam tahun untuk bisa belajar berkomunikasi dengan orang lain
sehingga di saat nikmat pendengarannya diambil, ia masih dikaruniai nikmat
bicara meski terbatas.
Senja semakin menggeser malam untuk segera tiba, sedang kilatan di
balik Gunung Guntur sana masih belum hilang. Meski tak setiap kilatan diiringi
intro gelegaran, Kandela masih saja berusaha menutup telinga dengan kedua
tangannya setelah melihat kilatan.
“0,36 detik” seru Kandela, suaranya agak keras. Maklum, ia belum
peka untuk memberi volume proporsional kepada lawan bicaranya.
“Kurang akurat, seharusnya 0,51 detik. Mungkin ada yang salah
hitung,” tulis lawan bicaranya dalam secarik kertas buram yang lembap dengan
cipratan hujan.
Ternyata di luar rumah, Kandela ditemani seseorang yang sangat
persis raut wajahnya, juga gestur tubuhnya. Kelvina namanya. Ya, Kandela dan
Kelvina adalah putri kembar mantan guru fisika SMP, Bu Budi dan Pak Hadi. Namun
sayang, Bu Budi menderita osteoporosis di usianya yang masih cukup muda
sehingga ia meninggalkan aktivitas mengajarnya. Untunglah dinas pendidikan
masih berbaik hati untuk mengurus pensiun mudanya, sehingga ia mengandalkan
uang pensiun muda sebagai penyambung hidup keluarganya. Namun entahlah ke mana
Pak Hadi berkelana. Semenjak Bu Budi divonis osteoporosis parah oleh dokter,
bukannya menyiram hati yang gersang dan memadu jiwa yang redup, Pak Hadi
tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak. Entah ke mana angin membawanya dan ke
mana deru langkah menghantarnya. Hilang, pupus, sempurna.
***
“Vin, koreksi hasil hitunganku yang tadi, aku belum yakin sama
jawabanmu. Aku yakin, suara muncul 0,36 detik setelah cahaya kilat tampak!”
Kandela mengerenyitkan dahi.
Kelvina memberi setumpuk buku dan coretan-coretan dalam kertas
buram.
“Ooh, jadi salah di sini. Cuma salah pengali doang aku...” ungkap
Kandela setelah mengkaji ulang beberapa halaman buku dan melirik jawaban
kembarannya.
“Ya tetap saja salah, Del... harus teliti dan akurat!”
“Apa?”
“Kamu harus teliti sehingga hasilnya akurat.”
“APA?” suara Kandela makin keras.
Kelvina tersenyum simpul, ia lupa keadaan kembarannya. Dengan sabar
ia keluarkan sehelai kertas buram kecil dan mengambil pena, Kamu harus
teliti sehingga hasilnya akurat, begitu tulisnya.
“Ooh,” barulah Kandela paham. “Enak ya kamu Vin... kamu pasti lebih
mengerti pelajaran dibanding aku. Aku tuli...”
“Stttt...” telunjuk lentik Vina diletakkan di depan bibir Dela.
“Jangan bicara itu lagi. Kita saling melengkapi, Del. Kita harus bersyukur
karena masih bisa sekolah berdua, meski gantian juga.”
Kandela mengusap wajah, tanda mohon ampun kepada Tuhan. Wajahnya
kembali penuh harap.
“Besok kamu saja yang pergi sekolah. Supaya kamu lebih paham materi
fisika kita dengan mengamati mulut Pak Guru langsung dan melihat slide
presentasinya,” Vina kembali menulis dalam kertas, dengan cepat ia berikan
kertas itu kepada kembarannya.
Untunglah Vina dan Dela kembar. Setidaknya, sambil menyelam minum
air. Dela dan Vina gantian pergi ke sekolah dan saling melengkapi satu saama
lain dalam pelajaran. Hal itu adalah ide yang digagas Vina. Karena mereka
berkeinginan keras untuk sekolah bersama sedangkan biaya tidak melewati garis
toleran, akhirnya itulah cara yang bisa mereka tempuh.
***
Seutas asa merambat ke langit. Ingin rasanya menembus bulan hingga arasy,
lalu Tuhan menebus asa itu dengan nyata. Ibu bersujud di atas sajadah terhampar
di sudut kamar. Bambu yang menjadi penahan badan berderit-derit. Tulang-tulang
badan yang semakin hari semakin menyusut dan nyeri yang bersahutan, ia tahan
sebisa mungkin. Karena kebaikan berebih yang dicurahkan Tuhan, karena cahaya
wajah yang akan nampak di hari akhir, dan karena doa-doa akan cepat terkabul di
penghujung malam, Ibu memaksakan raga untuk shalat malam dan terjaga sampai
mentari menampakkan gelombang berfrekuensi rendahnya, cahaya merah.
Dari atas pembaringan, sang ibu memanggil kedua putrinya.
“Kelvina, Kandela, kemari, Nak...” suara parau itu bergema.
Kelvina segera menghampiri sambil mengenakan seragam sekolah.
Kandela dituntunnya dan dipaksa berhenti dari kerumunan soal yang dari kemarin
ia geluti.
“Ibu mau minta maaf,” ucap Ibu perlahan. “Ibu sudah rapuh, Nak...”
sebutir kristal meluncur hingga bertepi di atas pipi yang mulai keriput itu.
“Ibu belum bisa menunaikan hak Kandela dan Kelvina untuk sekolah. Ibu belum
bisa membuat kalian barengan sekolah. Ibu tahu, satu-satu, bergantian, adalah
hal yang penuh perjuangan. Tapi sayangku, Ibu yakin dengan usaha dalam membagi
ilmu dan jadwal sekolah itu adalah usaha terbaik untuk meraih ilmu dari Tuhan.
Ibu harap Dela dan Vina bisa lebih ilmunya dari Ibu. Ibu hanya mantan guru dan
ibu berdoa supaya kalian jadi ilmuwan fisika.”
Ketiganya berpelukan. Sangat besar kegigihan mereka dalam menggali
ilmu alam yang satu ini, fisika. Keluarga itu memang berlatar belakang pecinta
fisika.
“Sayangku, suatu saat nanti Ibu yakin, dengan kalian belajar fisika
semakin dalam, keimanan kalian akan semakin bertambah. Dengan semakin banyaknya
pengetahuan fifika yang didapat, harus semakin banyak pula kajian Quran yang
kalian pahami. Agar Allah ridha, Nak...” ranjang reyot tempat Ibu berbaring
bergetar panas, sepanas bara asa yang menggebu dalam dirinya untuk ditularkan
kepada anak-anaknya.
***
Suara rengekan kucing betina di belakang rumah menembus bilik
dinding rumah panggung di pulau Jawa. Hamparan langit pekat dengan awan-awan
kelam yang siap menumpahkan air. Gelegaran suara pengusir setan dari lapisan
langit turun ke bumi dengan disertai kilatan-kilatan kecil sebelumnya. Sayang,
Kandela yang biasanya menggebu menghitung selisih waktu antara kilat dan suara,
sedang tidak menunjukan aktivitas fisik yang terjaga. Ia tidur, sangat pulas
bersama kembarannya. Namun, andaikata elektro enchepalogram dipasang di
kepalanya, pasti menunjukkan sinyal-sinyal postif bahwa dalam keadaan tidur
pun, pikirannya masih meangkasa liar, menjelajah ilmu-ilmu fisika, sepertinya.
Teruslah gelegaran dan kilatan itu mengganggu penghuni pulau Jawa.
Dengan kelamnya malam yang mencekam, suara burung hantu yang menimpali
gelegaran suara dari langit, suara jangkrik, dan suara nyaring lain, semakin
menambah horor latar adegan. Meski demikian, karena kebanyakan orang telah
terlelap pulas, suasana horor itu tak diindahkan, hingga sekerdil suara yang
awalnya jauh kian membesar dan mendekat.
Suara itu bak gemuruh sebuah zat yang tak asing lagi di telinga
orang Aceh atau Jepang. Ya, gelombang air. Tiba-tiba dari sebelah selatan,
gemuruh air itu berderu, cepat. Mungkin ia ingin menyaingi gemuruh langit.
“Allahu akbar... Aaaa...”
“Tolong.... tolong...”
“Ya Allah...”
Suara manusia bermunculan tiba-tiba. Air sangat deras menyapu
daratan. Sebuah bencana terjadi tak terkira. Banjir bandang terjadi! Semua
orang histeris. Ada bayi yang hanyut, rumah yang terseret, harta benda tersapu,
dan semua memang berantakan.
Rumah Ibu, Kandela, dan Kelvina pun teruntuhkan air. Mereka
berpencar, luluh lantak karena tsunami kecil yang tiba-tiba mampir tanpa
permisi.
“Ibu...” Dela berteriak.
“Ibuuu...” Vina semakin keras.
Ibunya tidak ia dapati saat mata mulai terbelalak. Yang ada hanya
keadaan tak simetris, keadaan luluh lantak. Semua yang nyata ini seperti mimpi
buruk yang tiba-tiba.
Jerit tangis menggelegar di kota itu. Semua orang meminta
perlindungan dan mencari keluarganya yang hilang terbawa arus banjir bandang
yang dahsyat. Dengan modal mata dan keberanian, Dela dan Vina menyusuri
sekeliling wilayah dengan terisak, mencari sosok yang sangat dicinta, yang
telah menopang hidup anak kembar itu dengan keringatnya meski kerapuhan tulang
terus menggerogoti setiap detiknya.
Berkelebatlah banyangan Ibu dalam benak mereka. Tersimpan lengkap
bagaimana terakhir kali Ibu memanggil mereka berdua dan menyemangati mereka.
Terlukis indah ketika sore hari dalam gemuruh dan kilatan, Ibu memanggil untuk
segera masuk rumah sedangkan Dela dan Vina masih asyik dengan soal-soal fisika
dalam pangkuan. Teringat lekat pula saat Dela dan Vina mengintip Ibunda yang
sedang khusyuk shalat malam dalam kepayahannya.
“Ibuuu...” Dela menjerit, mengobrak-abrik puing-puing yang luluh
lantak. Tersingkap sebuah kertas basah dari bawah kayu triplek, kertas yang
tulisan tintanya masih jelas dan sepertinya kedua anak kembar itu mengetahui
siapa yang menulisnya.
Untuk anak-anakku, Kandela dan
Kelvina...
Banyak cobaan yang mewarnai hidup
Ibu dan kalian. Saat Kandela kehilangan pendengaran karena terjatuh, saat Ibu
osteoporosis parah, juga saat Bapak hilang tanpa jejak pasti, itu semua ujian
bagi kita.
Ibu yakin, kalian pasti sukses
menjadi ahli fisika. Kalian bisa menghadapi hidup yang keras ini dengan
keunikan kalian masing-masing. Tak perlulah fisika relativistik dengan
kecepatan cahaya berlaku dengan sistem hidup kalian, cukup fisika klasik dengan
hukum Newton yang perlu kalian terapkan. Bukan artinya Ibu mendoakan agar
kalian tak melesat seperti halnya roket luar angkasa, Ibu hanya ingin kalian
memaknai dan merasakan selangkah demi selangkah, bahwa hidup ini berarti, bahwa
gaya gesek itu pewarna, bahwa kekonsistenan adalah keniscayaan dalam kebaikan,
bahwa setiap aksi pasti akan dibalas reaksi yang setimpal.
Tak perlu kalian menanti bulan
terbelah dua kali untuk bisa maju. Tak perlu kalian menunda waktu, karena
memang bulan hanya terbelah sekali oleh sang Nabi. Artinya, kalian telah diberi
kesempatan detik ini pula untuk merubah keadaan kalian menjadi lebih baik. Dan
bulan pun telah terbelah, namun tak banyak orang mengetahuinya. Suatu yang
mustahil bagi kebanyakan insan bisa terjadi, Ibu yakin Tuhan pun menjanjikan
kesuksesan jika kalian berusaha.
Derai air mata tak tertahankan. Kesedihan semakin kelam. Namun di
balik kesedihan itu, bersanding semangat baru, meski seiring berjalannya waktu,
bersama Ibu tidak kunjung bertemu.